Kisah di Balik Sukses Juara All EnglandBy admin
Sabtu, 08-Maret-2008, 08:28:16 |
Karir bulutangkis Susi Susanti berhenti sejak 1997, bertepatan dengan kehamilan anak pertama. Nama Susi kembali beredar setelah PB PBSI menunjuknya menjadi manajer Tim Uber Indonesia. |
Langganan Juara setelah Tangan Dipegang Nenek Misterius
Turnamen bulutangkis All England meninggalkan kesan mendalam bagi Susi Susanti. Bagi peraih emas tunggal wanita Olimpiade Barcelona itu, All England sangat berarti dalam perjalanan karirnya.
Karir bulutangkis Susi Susanti berhenti sejak 1997, bertepatan dengan kehamilan anak pertama. Nama Susi kembali beredar setelah PB PBSI menunjuknya menjadi manajer Tim Uber Indonesia.
Semasa menjadi pemain, sosok Susi sangat melegenda di peta persaingan tunggal wanita. Seabrek gelar dikoleksi istri Alan Budikusuma tersebut. Di turnamen All England, Susi empat kali tampil di podium juara tungal wanita edisi 1990, 1991, 1993, dan 1994.
''Dalam dua tahun pertama keikutsertaan saya di All England, ada kisah yang tak bisa dilupakan hingga saat ini,'' kenang ibu tiga anak itu.
Pada 1988, kali pertama Susi mengikuti All England. Sayang, dalam kiprah perdana di turnamen bulutangkis tertua tersebut, dia belum berhasil menuai gelar juara. ''Saya sedih dan menangis waktu itu. Lantas, saya lari ke gereja terdekat yang kebetulan sedang menggelar komuni,'' beber wanita kelahiran Tasikmalaya, 11 Februari 1971 tersebut.
Biasanya dalam acara tersebut, masing-masing pendoa, termasuk Susi, hanya dijatah satu roti dari pendeta yang memimpin komuni. Namun, entah kenapa Susi mendapatkan dua roti sekaligus. ''Saya juga kaget, biasanya hanya diberi satu-satu. Tetapi, kok waktu itu saya dapat dua. Kalau sudah menerima, harus dimakan, tidak boleh dikembalikan,'' tutur pencetak enam kali juara final Grand Prix itu.
Tak dinyana, setahun kemudian, Susi kembali lagi ke All England. Meski belum menuai predikat juara, Susi mampu melaju ke final dan dikandaskan andalan Tiongkok Li Lingwei. Nah, pada 1989 itu, Susi memiliki cerita menarik. Dia bertemu dengan wanita lanjut usia sesaat setelah kontingen Indonesia tiba di London.
Kala itu, pertandingan masih dihelat di Wembley Arena, London. ''Kebetulan, kami bertiga, Koh Tong (Tong Sin Fu, pelatih Indonesia), Sarwendah, dan saya cari makan di McDonald�s yang lokasinya dekat dengan hotel,'' ucap Susi memulai cerita.
Rasa lapar sangat mengganggu karena cuaca bersalju dan dingin sekali. Usai makan dan kembali ke hotel, mereka dicegat seorang nenek yang menanti belas kasihan di pinggir jalan. Tong pun meminta anak asuhnya itu untuk memberikan uang receh kepada nenek tersebut. Namun, nenek itu tak mau menerima lebih dari 1 pounsdterling.
''Saya ingin sekali memberinya 5 pounsdterling. Dia nggak mau terima. Eh, tangan saya dipegang. Saya kaget dan ada rasa takut juga. Kok, nenek itu tangannya hangat, padahal salju mulai turun dan dingin sekali,'' bebernya.
Rasa kaget itu membuat Susi lebih ingin memperhatikan raut muka sang nenek. Dia tak peduli meski rekan-rekannya telah meninggalkannya dan kembali ke hotel. Entah kenapa, Susi ingin meneteskan air mata karena terharu. Dia pun berlari ke hotel untuk mencari Alan Budikusuma yang sudah menjadi kekasihnya selama dua tahun.
Dengan tersengal-sengal, Susi menyampaikan keinginan agar Alan mau mendatangi nenek misterius tersebut dan memberikan lebih banyak uang. Sayang, usaha Alan sia-sia. Sesampainya di tempat itu, Alan tak lagi menemukan nenek tersebut. ''Mungkin orang lain menganggap itu hal biasa. Tetapi setelah itu, tangan saya benar-benar membuahkan prestasi,'' akunya.
Semua itu, lanjut dia, berkah sang pencipta yang memberikan kekuatan kepadanya untuk menorehkan sejarah indah bagi Indonesia. Kenangan di lapangan tentu lebih indah. ''Wembley Arena sangat megah. Penontonnya sangat santun dalam memberikan support,'' ujarnya.
Sayang, setelah penampilan terakhirnya di All England pada 1997, Susi tak lagi sempat menengok turnamen tertua itu. ''Sudah kenyang dulu ke sana, sekarang membayangkan naik pesawatnya sudah malas" katanya.
































